Selasa (14 Januari 2014) yang kebetulan bertepatan dengan tanggal merah (karena Peringatan Hari Maulud Nabi Muhammad Shallahu’alaihi Wasallam, Sholli ‘alaih), tidak terlewatkan begitu saja. Saya bersama 3 sahabat saya, Erwin, Iis, dan Hanna pergi berlibur demi menciptakan pengalaman baru, yakni bermain paralayang di Puncak, Bogor, Jawa Barat. Sungguh kesempatan yang langka memang, langka karena susah meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukan kantor, langka karena tidak semua daerah memiliki wahana olahraga ini, langka karena untuk melakukan olahraga ini harus didukung cuaca yang bagus, langka karena wahana olahraga ini yang ada di berbagai daerah tidak semuanya dikomersilkan, langka karena dan sebagainya, hee. Kami berangkat dengan janjian terlebih dahulu di Darmaga pukul 7 pagi. Ketika sudah kumpul semua (kira-kira pukul 07.30) kami langsung berangkat menuju Puncak, Bogor, lokasi dimana olahraga paralayang ini berada. Cuaca yang abu-abu (tidak cerah, tidak pula mendung) terus menemani perjalanan kami hingga sampai puncak. Setelah mencapai area perkebunan teh, dimana disitu sudah jarang sekali atau hampir tidak ada villa lagi (kecuali penduduk yang menawarkan villa), cuacanya berkabut sekali. Arah depan, samping kanan, kiri terlihat serba putih sehingga jarak pandang mata terbatas. Karena kami berempat memang janjian untuk sekalian sarapan bareng aja di Puncak, mata kami tidak lepas dari pencarian tempat makan yang ‘bagus’ untuk berhenti. Mencari dan mencari, akhirnya pilihan kami jatuh ke warung makan yang berada persis di bawah Masjid At-Ta’awun, Puncak. Kebetulan juga, masjid ini memang menjadi tempat favorit saya di Bogor. Jika Anda berangkat dari arah Ciawi menuju Puncak, masjid ini terletak di sebelah kanan jalan persis. Anda tidak perlu susah-susah mencari masjid ini, karena masjid ini sudah tentu menjadi objek pandangan mata Anda baik disengaja ataupun tidak. Karena bangunan masjid ini cukup unik dan menarik sehingga terlihat ‘berbeda’ dan ‘mentereng’. Dari masjid ini Anda juga bisa menikmati pemandangan perbukitan, perkebunan teh, orang-orang yang bermain paralayang (jika ada penerbangan), dan masih banyak lagi. Makanya tak heran jika banyak orang yang mampir kesini, entah sekedar melepas penat, foto-foto, sholat (yaiyalah) dan lain sebagainya.
Setelah parkir di area At-Ta’awun, kami langsung sarapan di salah satu warung yang berjejer tepat dibawahnya. Dan rasional memang jika harga makanan disini relatif lebih mahal, selain karena faktor tempat yang bagus, juga jauh dari pemukiman penduduk. Saat itu, kabut di sekitar masih sangat tebal, sehingga membuat kami agak kecewa karena memberikan harapan tertundanya pengalaman ‘terbang’ kami. Namun saat sarapan mau selesai, cuaca menjadi berubah, kabut mulai hilang, sinar matahari mulai terpancar, dan pemandangan alam sekitar sudah mulai terlihat termasuk area lepas landas paralayang. Ya, tempat paralayang ini memang tidak jauh dari Masjid At-Ta’awun (sekitar 700 meter setelah At-Ta’awun jika Anda berangkat dari arah Ciawi). Perasaan yang tadinya kecewa berubah drastis menjadi bahagia, haha. Namun kami tidak tergesa-gesa langsung kesana, karena ada momen yang tak boleh terlewatkan, yakni 'bernarsis ria' di area Masjid At-Ta’awun, wehehe. Check this out kenarsisan kami selama di area masjid.
Kaya Power Ranger (kurang 1) ya, haha |
Foto ini ga tau siapa yang ngajarin :p |
Tangga menuju Masjid At-Ta'awun |
Masjid At-Ta'awun |
Pemandangan dari Masjid At-Ta'awun |
Oke cukup foto-fotonya !!! Saatnya menunju Paralayang, Go go go !!!
Tak selang berapa lama akhirnya sampai juga di tempat tujuan. Biaya masuk ke tempat ini 5000/orang dewasa, motor 2000, mobil (lupa karena ga bawa, haha). Usai parkir, lanjut menuju tempat lepas landas-nya. ‘Wooooooowwww’, pengen pengen, pengen segera terbaaaaang, haha. Nampak disitu orang sudah ramai, ada yang antri terbang, antri daftar paralayang, foto-foto, menikmati pemandangan sekitar, dan lain-lain. Ohya, di area paralayang ini banyak sekali turis asing asal timur tengah (arab) lho. Mengenai latar belakangnya sendiri sih saya belum begitu tau kenapa banyak orang arab di Puncak (menarik buat dibahasi di tulisan selanjutnya sepertinya, hehe). Oke lanjuuut !! Setelah nyampe disitu, kami langsung ikut ngantri untuk daftar paralayang. Nah, bagi rekan-rekan yang hendak bermain paralayang ini, saran saya sih ketika sudah sampai buruan daftar, karena jika nunggu sepi yang ada justru malah makin rame, belum lagi perubahan cuaca yang tiba-tiba juga bisa saja terjadi. Biaya pendaftaran untuk sekali terbang (+- 10 menit) adalah Rp 300.000/orang.
Suasana di sekitar lepas landas |
Meja pendaftaran terbang |
Selanjutnya, saatnya Iis yang terbang..
Dan terakhir, Erwin…
Ohya, sahabat saya yang satunya lagi, Hanna, tidak ikut terbang karena dia takut ketinggian (jadi bersyukurlah kita yang diberi karunia untuk bisa menikmati olahraga semacam ini). Makasih ya Hanna atas dokumentasinya saat-saat akan terbang, hehe. Selama di udara saya manfaatkan ngobrol banyak dengan Mas Adi. Pria yang berdomisili asli Bogor ini sudah menggeluti dunia paralayang ini lebih dari dari 10 tahun. Dari yang awalnya hobi sekarang menjadi ladang rejeki. Bagi kita para pemula pun, jika ingin bisa terbang sendiri bisa ikut kelas terbang, biayanya 6,5 juta (dapet info dari Mas Adi), terbang 40x dengan waktu yang menyesuaikan kita, dan nantinya bakal dapat sim untuk terbang (level internasional). Daerah-daerah di Indonesia yang menyediakan fasilitas ini cukup terbatas. Di Jawa sendiri cuma ada di beberapa tempat saja seperti Bogor, Bandung (tidak dikomersilkan), Yogyakarta dan Malang (itu saja yang saya tau, jadi mohon dikoreksi ya jika kurang, hehe). Di daerah Sumatera cukup banyak, kemudian ada juga di Bali. Selama terbang, saya juga sempat diajak muter-muter dulu di sekitar area lepas landas. Lihat hiruk pikuk di sekitar lepas landas sambil dada-dada ke Hanna yang sedari tadi merekam video, mwehehe. Menikmati lukisan ciptaan Illahi dari atas dengan sensasi terbang bebas menjadi pengalaman yang ‘woooowww’ sekali bagi saya, sekaligus menambah kecintaan dan kebanggaanku terhadap tanah air ini. Terus terang saya yang memang bukan penduduk asli sini memiliki prinsip seperti ini, ‘lakukan hal yang tak bisa dilakukan di kota asal (Kudus)’, untuk itulah saya mencoba olahraga ini. Termasuk pengalaman saya yang tak kalah seru juga di liburan akhir tahun 2013 kemarin yaitu diving (baca selengkapnya). Jujur, saya memang tipe orang yang suka mencoba hal-hal baru yang menantang. Dan alhamdulillah, jika sebelumnya saya hanya bisa melihat paralayang, diving hanya dari layar televisi, sekarang saya sudah merasakan keduanya live. Lanjut!! Setelah lebih kurang 10 menit mengudara, selanjutnya adalah saatnya landing (yaaaaahhhh..). Di bawah sudah terlihat area pendaratan yang terletak di tengah-tengah perkebunan teh. “Nanti pas mau mendarat kakinya lurusin dan tarik ke atas ya.. “ pesan Mas Adi. Daaaan, sluruuuuuuuuuuttt, akhirnya sampai juga di tanah dengan safety (alhamdulillah). Tak selang berapa lama, giliran Iis yang mendarat. Usai mendarat, tak lupa kami berfoto-foto dengan penerbang masing-masing sambil nunggu pendaratan Erwin. Namun hingga selesai foto-foto pun masih belum terlihat juga parasut Erwin. Ya akhirnya kita memutuskan untuk menunggu Erwin dulu sebelum kembali ke lokasi lepas landas. Ohya, untuk kembali ke lokasi lepas landas kita tak perlu repot-repot nyewa kendaraan karena harga 300ribu tadi sudah termasuk biaya transport dari lokasi pendaratan ke lokasi lepas landas. Nunggu dan nunggu akhirnya datang juga si Erwin. Lanjut foto-foto lagi dan langsung kembali ke atas.
Foto bersama Mas Adi |
Foto di area pendaratan |
Foto-foto kelar dilanjutkan kembali ke At-Ta’awun untuk sholat Dzuhur kemudian pulang.
Dari pengalaman ini saya hanya bilang, “DAMN!! I Love Indonesia so much”.
Lihat juga video dokumentasi kami berikut ini:
No comments:
Post a Comment